Jakarta, CNBC Indonesia – Metode penghitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang kini menggunakan skema tarif efektif rata (TER) juga berlaku bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota Polri yang Menerima atau Memperoleh Penghasilan yang Bersifat Tetap dan Teratur.
Sebagaimana pekerja tetap di sektor swasta atau non-ASN, rumus perhitungannya juga sama, sebagaimana kini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023 yang sama-sama berlaku mulai 1 Januari 2024.
Dalam aturan terbaru itu, bagi mereka rumus yang digunakan yaitu Penghasilan Bruto sebulan x TER Bulanan untuk setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir yaitu pada Desember. TER bulanan ini tarifnya disusun pemerintah dalam PP 58/2023 berdasarkan tiga kategori, yakni Kategori A, B, dan C tergantung besaran penghasilan bruto bulanan, status perkawinan, dan jumlah tanggungan.
Lalu, untuk masa pajak terakhir atau pada Desember 2023 rumusnya menjadi penghasilan bruto setahun dikurangi biaya jabatan/pensiun dikurangi iuran pensiun dikurangi zakat atau sumbangan keagamaan wajib yang dibayar melalui pemberi kerja dikurangi pendapatan tidak kena pajak baru dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh, untuk mendapat nilai PPh Pasal 21 setahun.
Setelah itu, nilai PPh Pasal 21 setahun itu menjadi pengurang dari PPh Pasal 21 yang sudah dipotong selain masa pajak terakhir untuk mendapatkan nilai akhir PPh Pasal 21 masa pajak terakhir, yang harus dibayarkan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dalam rumus perhitungan lama, cara menghitungnya adalah ((Penghasilan Bruto sebulan-Biaya Jabatan/Pensiun-Iuran Pensiun) disetahunkan-PTKP) x Tarif Pasal 17 UU PPh) / 12 untuk setiap masa pajak kecuali masa pajak terakhir. Sedangkan saat masa pajak terakhir digitung dulu PPh Pasal 21 setahun = (Penghasilan Bruto setahun-Biaya Jabatan/Pensiun-Iuran Pensiun-PTKP) x Tarif Pasal 17, lalu PPh Pasal 21 Masa Pajak terakhir = PPh Pasal 21 setahun-PPh Pasal 21 yang sudah dipotong selain masa pajakterakhir.
Adapun contoh cara menghitung tarif PPh Pasal 21 untuk Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI yang Menerima atau Memperoleh Penghasilan yang Bersifat Tetap dan Teratur, termasuk ketika mendapat gaji ke 13 seperti ini:
Tuan A merupakan PNS dengan golongan III/c dan bekerja di Kantor Pelayanan Pemerintahan A. Tuan A berstatus menikah dan memiliki 1 (satu) orang anak. Selama tahun 2024, Tuan A menerima atau memperoleh gaji ketiga belas sebesar Rp10.017.000,00 (sepuluh juta tujuh belas ribu rupiah) pada bulan Juni 2024, rapel kenaikan tunjangan kinerja sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada bulan November 2024, serta penghasilan tetap dan teratur.
Berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak Tuan A (K/ 1), besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan A dihitung berdasarkan tarif efektif bulanan kategori B sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan A selama tahun 2024 sebagai berikut:
Saat Januari 2024 penghasilan brutonya sebesar Rp 10.545.000 karena gaji pokoknya yang sebesar Rp 3.000.000 ditambah tunjangan kinerja Rp 6.000.000, tunjangan jabatan Rp 600.000, tunjangan istri dan anak Rp 945.000, tarif TER nya masuk Kategori B sehingga tinggal dikali 1,5%. Dengan demikian PPh Pasal 21 yang harus dibayarkan menjadi Rp 158.175.
Lalu, ketika pada Juni 2024 mendapatkan gaji ke-13 sebesar Rp 10.017.000 dan penghasilan brutonya pada bulan itu menjadi Rp 20.034.000, maka tarif PPh Pasal 21 Kategori B nya menjadi 8%, sehingga Pajak Penghasilannya yang harus dibayar pada bulan itu menjadi Rp 1.602.720.
Ketika pada November 2024, Tuan A mendapat rapel tukin senilai Rp 2.000.000, sehingga penghasilannya menjadi Rp 12.017.000, tarif efektif bulanannya Kategori B yang dikenakan menjadi sebesar 3%, sehingga pajak penghasilannya pada bulan itu menjadi sebesar Rp 360.510.
Barulah pada Desember 2024 atau pada saat masa pajak terakhir, perhitungannya menjadi normal kembali dengan cara perhitungan sebagai berikut:
Penghasilan bruto setahun sebesar Rp 135.521.000, dikurangi biaya jabatan setahun 5% x Rp 135.521.000 (maksimal Rp 6.000.000) sehingga penghasilan neto Rp 129.521.000. Setelah itu, dikurangi penghasilan tidak kena pajak Rp 54 juta untuk wajib pajak sendiri, tambahan karena menikah Rp 4,5 juta, dan tambahan satu orang anak Rp 4,5 juta, sehingga penghasilan kena pajak setahunnya Rp 66.521.000.
Lalu, PPh Pasal 21 terutang pada 2024, yakni 5% x Rp 60 juta menjadi Rp 3 juta ditambah 15% x Rp 6.521.000 menjadi Rp 978.150, sehingga totalnya Rp 3.978.150. Total ini dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang sampai dengan bulan November 2024 sebesar Rp 3.359.085, dengan demikian Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang pada bulan Desember 2024 hasilnya sebesar Rp 619.065.
Catatan:
1. Pajak Penghasilan Pasal 21 Tuan A pada Masa Pajak Terakhir, yaitu bulan Desember 2024, ditanggung oleh Pemerintah sebesar Rp619.065,00 (enam ratus sembilan belas ribu enam puluh lima rupiah).
Kantor Pelayanan Pemerintahan A wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Tahun Pajak 2024 kepada Tuan A paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak Terakhir, yaitu akhir bulan Januari 2025.
2. Tuan A wajib melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Kantor Pelayanan Pemerintahan A dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024.
3. Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 3.978.150,00 (tiga juta sembilan ratus tujuh puluh delapan ribu seratus lima puluh rupiah) merupakan kredit pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024 Tuan A. https://tehmasnisdingin.com/